View
Melahirkan Pendidikan yang Demokratis dari Rahim Ibukota
21.25.00
Provinsi
DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesauan Republik Indonesia menempati posisi
sentral bagi segala aspek pemerintahan yang dalam perkembangannya dewasa ini
menjadi panutan sekaligus tolak ukur bagi kemajuan banyak daerah khususnya provinsi
lain yang tersebar dari sabang sampai marauke sehingga implementasi dari
program-program unggulan yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
sepatutnya dilaksanakan dengan sebaik mungkin agar dapat menjadi cerminan
kemajuan bangsa dalam lingkup kecil.
Seorang
Gubernur, disamping berkedudukan sebagai kepala daerah Provinsi, juga
berkedudukan sebagai kepala pemerintah pusat di daerah dalam pengertian untuk
menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi
pemerintah pada strata pemerintahan kabupaten dan kota. Artinya, Gubernur
berkedudukan sebagai wakil kepala wilayah administratif. Maka atas dasar
kedudukan yang diemban oleh Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI
Jakarta, dapat dipahami bahwa hal tersebut menuntut Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta melakukan rekrutasi Sumber Daya Manusia yang berkualitas sebagai salah
satu upaya peningkatan program unggulan yang dijalankan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta.
Bercermin
pada negara-negara maju di dunia, nyatanya pendidikan tetap menjadi hal yang
dinomorsatukan oleh banyak negara. Dengan adanya biaya pendidikan gratis seperti
dalam bentuk Kartu Jakarta Pintar kiranya sangat membantu merealisasikan wajib
belajar 9 tahun khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu dari segi
finansial. Namun, biaya gratis saja belum cukup untuk menunjang proses belajar
mengajar bagi siswa. Untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang
berkualitas, dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai serta tenaga pendidik
yang tak kalah berkualitas pula.
Dalam
sebuah buku asal Jepang karya Tetsuko Kuroyanagi yang berjudul Totto-Chan:
Gadis Cilik di Jendela (berdasarkan kisah nyata sang penulis), menceritakan
tentang seorang anak kelas 1 SD yang memiliki rasa ingin tahu besar dengan
segala bentuk perilaku dari rasa ingin tahunya tersebut harus dikeluarkan dari
sekolah formal akibat guru-gurunya tidak dapat menghadapi perilaku Totto-Chan
di kelas. Ia akhirnya dipindahkan oleh orangtuanya ke sekolah Tomoe—sekolah dengan gerbong kereta sebagai
kelasnya. Anak-anak di sekolah Tomoe yang
rata-rata per kelas hanya diisi oleh 10 murid, dibebaskan untuk belajar apapun
yang mereka suka, mulai dari berjalan-jalan, membaca buku di perpustakaan, bahasa
asing, melakukan eksperimen fisika, berkemah, olahraga, berenang bersama,
menyanyi, menari, bertani dan mereka diminta untuk membawa bekal yang berasal
dari pegunungan dan dari laut setiap hari sehingga selain kualitas makanan yang
lebih terjamin, anak-anak akan belajar apa saja makanan yang berasal dari
pegunungan dan apa yang berasal dari laut. Sekolah ini cukup unik namun pada
bagian epilog, kita akan dibuat merinding ketika membaca kisah hidup
murid-murid sekolah Tomoe yang semuanya sukses dalam kehidupan dan karir.
Buku
ini mengajarkan bahwa dengan minimnya murid dalam satu kelas akan membuat
proses belajar mengajar menjadi lebih efektif. Kebebasan yang diberikan dan
rasa hormat yang dilakukan oleh guru terhadap murid juga menjadikan murid-murid
lebih percaya diri dalam mengekspresikan segala bentuk kreativitasnya. Masa
pertumbuhan anak di sekolah harus ditunjang dengan praktik demokrasi sejak dini.
Dalam pengertian, sekolah menjadi wadah bagi para murid untuk mengapresiasikan
kehendak mereka serta untuk mengenalkan segala bidang ilmu pengetahuan untuk menarik
minat dan bakat siswa yang sesungguhnya. ‘Belajar tanpa menyukainya hanya
mengotori memori dan tak akan berbekas di dalamnya’, begitulah yang dikatakan
Leonardo da Vinci. Memang tugas seorang pendidik untuk sekaligus menjadi
pemantik rasa suka dan rasa ingin tahu seorang anak terhadap ilmu pengetahuan.
Maka perlu untuk menyusun strategi pembelajaran khusus bagi anak terutama bagi
murid SD, karena pada jenjang pendidikan SD, seorang anak dengan mudah menyerap
segala informasi dan didikan yang ia terima yang mana berpengaruh bagi tumbuh
kembang anak di masa mendatang.
Menurut
Albert Einstein, ‘setiap anak itu jenius, tetapi jika kita menilai seekor ikan
dari kemampuannya memanjat pohon, seumur hidup dia akan menganggap dirinya
bodoh’. Begitulah potret yang membudaya di sebagian kalangan pendidik. Tidak
sedikit dari mereka yang menerapkan persamaan kemampuan yang dimiliki anak. Adat
dan kebiasaan dalam dunia pendidikan formal yang sudah melekat pada masyarakat
memang sulit untuk dilepaskan. Apalagi kebiasaan tersebut telah menjadi tradisi
yang lahir dari sistem pendidikan itu sendiri. Namun bukan berarti modernisasi
sistem pendidikan sesuai perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan hasil
komparasi dengan negara maju tidak mungkin terjadi.
Dengan
anggaran pendidikan pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mencapai angka lebih
dari 15 Triliun rupiah, sangat membuka kesempatan bagi banyak program yang
dapat meningkatkan efektifitas pendidikan bagi warga Jakarta, seperti pelatihan
bagi guru-guru untuk menambah kemampuan melatih kreativitas siswa dan
mengembalikan pemahaman tentang makna dari pendidikan dan peran pendidik itu
sendiri, penyediaan sarana prasarana yang disesuaikan dengan kualitas dan
kuantitas siswa dalam suatu ruang kelas, serta terus melakukan pembaharuan
sistem pendidikan melalui studi historis maupun komparatif dengan negara-negara
maju utamanya di bidang pendidikan seperti Jepang, Finlandia, Korea Selatan,
Tiongkok dan sebagainya.
0 komentar